Ustdaz ku Dian Sastro

Beginilah susahnya kalau jadi orang dengan kadar iman yang masih pas-pasan, untuk tergugah akan agama saat mendengarkan ceramah para ustadz saja bukan perkara mudah untuk saya capai. Apalagi selama ini dalam seminggu, rata-rata hanya satu kali seminggu saja saya mendengarkan siraman rohani, yaitu pas jumatan. Itupun dengan catatan jika saya tidak ketiduran pada saat khutbah. Kalau angin semilir begitu sejuk menyapa, pengkhutbahnya kaku, dan isi khutbahnya tidak ada yang lucu, yah, bisa dipastikan hanya dalam hitungan menit saya sudah tertidur. Sungguh celaka memang. 

Tapi saya juta tidak mau disalahkan sepenuhnya. Toh anginnya begitu sejuk dan kebetulan saat itu fisik saya cukup lemah setelah beraktifitas. Toh ustadznya banyak yang kaku sekali dalam berkhutbah, jarang sekali menyapa, dan bukannya tengok sana tengok sini sambil sesekali menggerakkan tangan seperti yang disampaikan dalam buku-buku tips sebagai pembicara yang baik, kebanyakan dari mereka hanyalah seperti anak SD yang disuruh membaca paragraf dari sebuah buku oleh sang guru. Dan toh juga, isinya tidak ada lucu-lucunya, bahkan sering kali terkesan getir dan hanya menonjolkan tentang betapa seramnya neraka. Lagi-lagi sesuai tips pidato yang baik, harusnya isinya bisa memancing kegairahan yang mendengar. Betul?

Nah, dengan alasan inilah akhirnya saya mencoba untuk dekat dan bergaul dengan beberapa teman yang termasuk kategori pemuda masjid. Yah, kehidupan duniawi ini memang harus saya imbangkan dengan banyak belajar tentang agama, karena toh saya tidak tahu sampai kapan saya hidup di dunia ini. Tapi ternyata belajar agama dari teman sendiri bukanlah perkara yang mudah. Kali ini bukan masalah materi yang mereka sampaikan, tetapi karena mereka adalah teman yang begitu saya kenal dalam kesehariannya, saya banyak mengetahui kekurangan dalam diri mereka. Saya tahu bahwa mereka pernah menyontek PR, saya juga tahu bahwa mereka tak jarang datang terlambat, mereka kadang membenarkan sesuatu demi diri sendiri, dan mungkin saja mereka juga sering onani ketika libido tak terkendali. Itu artinya tidak lebih baik dibanding saya. 

Dari pada terus-terusan seperti ini, akhirnya saya berpikir mungkin saya belajarnya dari ustadz yang sudah terkenal saja. Jadilah pada suatu minggu, saya datang dan mendengarkan pengajian yang disampaikan AA Gym di pesantren Daarut Tauhidnya. Di setiap akhir acara, saat AA Gym memimpin doa untuk keselamatan semua, dikala semua orang menundukkan kepala sambil meneteskan air mata, saya hanya terdiam dan ikut-ikutan bilang amin. Mau ikutan menangis, hati ini tak sebegitu tersentuhnya oleh ceramah sang ustadz. Ternyata sang ustadz besar ini tidak cukup besar buat saya, karena dari pandangan saya yang ikut menangis rata-rata adalah orang-orang yang memang sudah ada cap pesantren Daarut Tauhidnya. Bukan orang-orang seperti saya. Sekali datang diri ini ternyata tak langsung tersentuh. Mungkin karena baru sekali, pikir saya. Maka akhirnya saya putuskan untuk kembali lagi kesana minggu depan. Tapi apa mau dikata, empat kali minggu saya datang dan mendengarkan pengajian, namun tak jua kunjung diri ini tersentuh. Jadi ya saya berhenti kesana. 

Waktu berlalu, saya kembali sibuk dengan kehidupan duniawi saya, dalam segala kemaksiatan tingkah laku. Walau sholat tak pernah ketinggalan, tapi terkadang juga alakadarnya sekedar untuk menggugurkan kewajiban. 

Sekali waktu saya pernah diajak seorang karyawan di Lab untuk menghadiri sebuah pengajian untuk pegawai non akademik di lingkungan fakultas. Pembicaranya adalah seorang ustadz yang cukup terkenal di Bandung, yaitu ustadz Aam Aminuddin. Mungkin karena rata-rata dari pegawai yang hadir adalah orang-orang yang sudah berkeluarga, maka ceramah yang dibawakan sang ustadz adalah tentang keluarga. Kali ini saya cukup larut dalam ceramah beliau. Walau saya belum pernah menikah, tetapi saya cukup mengerti akan sebuah lelucon beliau “sang istri baru mau mengucapkan Bismillah, eh si suami dah bilang Alhamdulillah”. Lucu, saya tertawa, dan inilah yang paling saya ingat dari beliau. Lalu apalagi yang saya ingat? Maaf, cuma itu. 

Ustadz Jefry? Arifin Ilham? atau Yusuf Mansyur? Ustadz-ustadz muda ini sebenarnya juga saya senangi. Acapkali saya meluangkan waktu mendengarkan pengajian atau ceramah mereka di tivi. Lantunan da’wah dari mereka begitu segar sehingga acapkali saya tersenyum dan larut mendengarnya. Sama seperti waktu kecil disaat saya begitu menggemari Zainuddin MZ berceramah. Tiap kali beliau datang dan berceramah di lapangan bola di kota kelahiran saya, saya beserta teman-teman sepermainan waktu kecil selalu berada di barisan paling depan. Lucu dan menyegarkan. Tapi ya sekedar itu. Jika beruntung, masuk telinga kanan, terngiang untuk beberapa hari, kadang sempat teramalkan acap kali tidak, lalu keluar lagi dari telinga kiri. 

Benar-benar celaka. Dan entah sudah separah apakah tingkat celaka diri ini,  sampai-sampai untuk menemukan satu orang ustadz saja yang bisa hati ini terbuka tuk mendengarkan ceramahnya begitu susah. Apa ustadz tersebut memang tidak ada yang bagus?

Tidak adil juga saya berkata seperti itu, karena toh, ribuan orang bahkan mungkin jutaan orang begitu tersentuh dan merindukan untaian da’wah agama dari mereka. Jadi karena apa? Benarkah karena hati ini sudah sedemikian hitamnya akan kemunafikan diri? 

Syukurlah, di tengah kebingungan diri, sebelum Ramadhan ini berakhir, Tuhan mempertemukan saya dengan Dian Sastro. 

Ketika saya bercerita kepada beberapa teman, ada yang menyangsikan, ada yang mentertawakan, dan juga ada yang protes bahwa saya tidak bisa mengkategorikan Dian Sastro sebagai ustadz layaknya ustadz-ustadz dan guru mengaji mereka. Bahkan di antara mereka ada yang merasa terhina jika Dian Sastro, sang bintang film Indonesia itu disebut ustadz.

Entahlah, tanggap saya. Saya tidak peduli Dian Sastro layak disebut ustadz atau tidak laiknya ustadz-ustadz mereka di pesantren. Tapi jika kisah kehidupan, teguran akan kesombongan jiwa ini, tentang nikmat kehidupan yang selama ini dilimpahkan, dan rintihan kehinaan diri akan kebesaran Sang Pencipta, yang saya dengar dari indahnya alunan suara Dian Sastro di radio 94.4 Delta FM setiap kali menjelang waktu sholat selama Ramadhan mulai membuka hati ini akan sia-sianya belasan Ramadhan yang telah saya jalani, mulai membuat jiwa bergetar setiap kali mendengar panggilan Illahi, mulai membuat saya merasa begitu sia-sia jika tak berjamaah di masjid, mulai membuat diri ini malu tuk menghabiskan waktu menonton tivi dari pada mengaji, mulai mencambuk nafsu diri tuk tidak onani ketika libido tak terkendali, maka tak ragu saya tuk berucap bahwa saya telah menemukan ustadz saya. 

Memang semua narasi itu adalah tulisannya Neno Warisman, tapi mungkin karena Dian Sastro yang membacakannyalah saya mulai dekat lagi dengan Tuhan saya. 

Seperti yang pernah saya dengar dari seorang teman, hidayah Tuhan datang pada masing-masing diri dengan caranya sendiri. 

*mohon maaf jika saya salah dalam penulisan nama.

Author: Beni Suryadi

Laki-laki, Islam, Minang, Indonesia. Seorang bapak, seorang suami yang berbahagia. Sesekali senang menulis tentang diri dan kehidupan.

17 thoughts on “Ustdaz ku Dian Sastro”

  1. yup !
    sepanjang untuk kebaikan dan dengan cara yang baik pula, why not? mau dia artis, tukang becak, penjahat, siapa perduli ? sama dengan ketidakperdulian kita kalo telur yg kita makan juga keluar dari lobang yang sama dengan kotoran/tai.

  2. Gak pandang bulu benx… aku malah lebih seneng ngedengerin ‘ceramah’ dari rekan2 kantor yang notabene-nya bukan ustadz, tapi punya pengalaman hidup yang tidak ingin diulang … first hand experience rasanya lebih mengena ya?

    btw… yang bener kayaknya aktivitas benx .. bukan aktifitas … hummm, tapi jadi ragu nih. Bisa konfirmasi?

  3. Nabi bersabda : “Undzur Maa Qoola Wa Laa Tandzur Man Qoola”, Artinya : Lihatlah apa yang dikatakan dan Jangan melihat siapa yang mengatakan… yah kurang lebih hadits tsb udah mencerminkan apa yang lu rasain …. 🙂

  4. saya lebih senang kalau ustadz itu lebh banyak berbuat daripada berbicara -apalagi berlomba-. toh nabi sendiri pun hanya menggunakan sedikit sekali waktunya berdakwah dengan berbicara, kebanyak dengan memberikan contoh yang nyata.

  5. Waah… sama!!! saya selalu suka suara itu. Saya suka suara merdu dari para cantik yang menyentuh kalbu, melembabkan jiwa dan terasa damai di hati. Saya tidak pernah suka suara para bandot ..eh.. bapak-bapak atau pemuda kasar yang suka jerit-jerit kasar lewat megaphone maupun ceramah-ceramah ngeden yang penuh kekerasan.

    Seandainya azan dilantunkan oleh lembutnya suara wanita… hehe… tiap subuh saya tak akan lagi sembunyi di bawah bantal.

  6. halal halal aja sich……..
    tp ember dengan ilmu yang sedikit ini kita masih boleh dunk menanyakan dan meyakini apa aja dalm kadar wawasan kita…hiks examp: tuh si Aa Gym yg kawin lagi yang apa pun alasannya yaa kok bisa? mo halal mo sunnah, semua cewek mah ogah digituin!!! oke lah teh nini (istri Aa) bersedia….tapi emang anak2nya mau papahnya dibagi?

    kalo mo ikuti jejak rasul yang inging menutup fitnah dan melindungi kaum perempuan bukan gitu d caranya! muasih ada RIBUAN cara yang lain kok (apa ini cara yang paling uenakkk) ya kawinin aja janda2 yang udh tuwir2 tuh malah apik.

    $#%$^@#$^@#^@#^#^#!!!! sebel ih

  7. ASS.WBR.
    MENURUT PRABU PRIBADI TTG ARTIKEL INI SANGAT BAGUS SEKALI.
    INI MEMBUKAKAN PERASAAN,PERKATAAN,PERBUATAN.
    JADI MUNGKIN SELAMA INI KITA CENDRUNG MENILAI ORANG ITU BAIK,AGAMIS.
    TAPI ENDINGNYA TDK BAIK.MENGECEWAKAN HATI & PERASAAN BYK ORANG.
    PRABU TAU LAGU “ALHAMDULILLAH” YG ADA DE DIAN ?
    YA JIKALAU KITA RESAPI,MAKNAI SECARA DALAM.
    TENTU SEMUANYA AKAN SETUJU.
    NGAK JAUH BEDA DGN DAKWAH SEORANG USTAD YG TOP NO. 1 SEKALIPUN.
    YA SINGKAT KATA DAKWAH MINIMAL 1 JAM. LAGU PALING LAMA 7 MENIT.
    TP SCR BOBOT,KWALITAS PRABU KAN BILANG YG BERBOBOT ADALAH LAGU ALHAMDULILLAH.
    ALHAMDULILLAH-NYA DE DIAN MERUPAKAN WUJUD UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA-NYA.
    DAN BAGUS SBG MOTIFASI UTK MENINGKATKAN KEIMANAN.
    MOHON MAAF JIKALAU ADA YG TDK BERKENAN.
    WAS.WBR.

  8. ini mirip dengan pengalaman saya sendiri, kecuali yang tentang dian sastro. Saya jg diajak sama temen ke ceramahnya Aa Gym. Semua nangis, saya cuma merhatiin mereka. Saya aktif juga pengajian pak Aam. Tapi jujur yang membuat saya terkesan ikutan pengajian, kebanyakan karena acara-acara yang bersifat wisata. Di situ bisa ketemu temen-temen, bermain bersama, nyanyi nasyid bersama, foto-foto, bahkan kami jadi seperti saudara. Kayaknya itu model dakwah yang paling ampuh buat saat ini. Bukan lagi melulu ceramah…

  9. acara apa nie? aagym?masih kayaknya, tapi baca di gatra edisi kartini, yang ada liputan tentnag aagym dan ponpes nya yang sepi
    kalo yang dian sastro kayaknya cuma pas bulan puasa doank

  10. Syukurlah ternyata saya bukan satu2nya org didunia ini yg tidak mudah tersentuh. Saya pernah pura2 nangis saat ceramah dikampus krn teman2 pada “histeris”. Saya malah lebih bisa nangis pas nonton “kiamat udah dekat” nya pak deddy mizwar, daripada ceramah yg menyatakan “betapa hinanya kita”. BTW, pernah dengar ustadz Jeffry gak? He’s the best. Mugkin krn dia pernah mengalami sndiri yg namanya jadi “org sesat”, sehingga apa yg dikatakan adalah sesuatu yg dirasakannya.

  11. bener tu bos! hidayah untuk tiap orang itu berbeda-beda asalnya. kebetulan kok yaaa.. kamu beruntung benx, yang alhamdulillah berhasil mengetuk pintu hatimu adalah jeng DS…

Leave a comment