Untitled

Saya benar-benar dibuat kagum oleh bangsa sendiri. Di saat saya masih terpaku mendengar berita jumlah koban yang terus melonjak sampai 5000an lebih, ternyata masyarakat bangsa ini sudah demikian sigapnya bergerak mengulurkan bantuan berupa sumbangan uang, makanan dan pakaian. Lihat saja hampir di setiap sudut ada panitia posko peduli korban gempa. Di sepanjang jalan begitu berjejernya berbagai kelompok yang meminta sumbangan. Mulai dari yang berskala besar seperti yang diselenggarkan berbagai media massa, perusahaan-perusahaan, instansi pemerintah, sekolah dan kampus-kampus sampai yang skala lokal di tingkat RW.

Nah, untuk yang kelas RW ini, masyarakat di lingkungan tempat saya tinggal sepertinya juga tidak mau kalah. saking semangatnya, hanya dalam hitungan satu hari setelah bencana telah berdiri empat posko peduli di lingkungan RW saya. Bahkan ada dua posko yang bersebelahan. Saya begitu berbahagia melihat kondisi seperti ini. Ketika tadinya saya sangat bingung apakah negeri ini masih kuat tuk ditimpakan bencana oleh Yang Kuasa, ternyata kebingungan saya sirna seketika. Sungguh sangat mengagumkan buat saya melihat begitu bersemangat orang-orang tersebut.

Saya sangat yakin sekali bahwa semua ini adalah sebagai wujud rasa persaudaraan yang sangat kuat, rasa empati yang dalam untuk dapat meyakini bahwa derita saudara sebangsa adalah derita kita juga.

Sebagai bagian dari masyarakat RW tersebut, saya juga tidak mau kalah. Sepulang dari kampus pada hari Rabu kemaren saya mengambil beberapa baju di lemari, saya bungkus dengan baik untuk di sumbangkan. Dengan segera saya bawa bungkusan tersebut untuk disumbangkan. Seperti yang tadi saya bilang, di RW saya saja ada empat posko peduli. Karena masih atas nama RW yang sama, saya memilih posko yang dekat kostan saja.

Ketika sudah hampir sampai posko tersebut, tiba-tiba ada salah seorang tetangga yang menyapa. Ketika dia mengetahui bahwa saya bermaksud menyerahkan sumbangan untuk saudara-saudara di Yogya, dia menarik tangan saya. Dia meminta saya agar mengumpulkan sumbangan itu ke posko yang di rumahnya. Awalnya saya menolak, karena apa bedanya, lah wong masih atas nama RW yang sama. Namun karena nada bicaranya terdengar memaksa akhirnya saya nurut juga ke poskonya, lagi pula yang penting kan buat saya sumbangan yang sedikit itu sampai.

Ternyata perkara ini tidak selesai begitu saja. Ketika saya sedang menuliskan nama sebagai kelengkapan administrasinya, tiba-tiba saja ada dua pemuda dari posko yang tadi mendatangi kami. Dari ceritanya, mereka tidak suka saya memberikan sumbangan lewat posko ini. Harusnya saya menyerahkan sumbangan tersebut ke posko mereka, karena jelas-jelas posko mereka adalah yang paling dekat dengan kostan saya. Sempat terjadi pertengkaran kecil sebelum akhirnya ada seorang pengurus mesjid yang datang. Sumbangan saya tadi akhirnya dicatat sebagai sumbangan di posko yang dekat kostan. Walaupun bingung, saya ahirnya menurut saja, karna toh yang penting buat saya adalah sumbangan tersebut sampai.

Ternyata hal ini hanyalah awal dari sebuah kebingungan yang baru lagi. Malamnya habis makan malam, saya sempat ngobrol-ngobrol dengan bapak kost. Beliau menceritakan bahwa ada anak seorang tetangga yang di ujung gang sedang di rawat di rumah sakit. Saat ini sang anak membutuhkan uang beberapa juta untuk membiayai operasi tumor yang membengkak di kepalanya. Tapi orang tuanya tidak mempunyai biaya. Tadinya si orang tuanya bermaksud meminjam uang sumbangan. Tapi di tolak karena menurut salah seorang pejabat RW, total uang sumbangan yang dikumpulkan oleh RW kami masih kalah jauh di bandingkan RW sebelah. Kalau uang tersebut dipinjamkan, maka total sumbangan RW kami akan berkurang jauh, RW kami bisa malu.

Ya, sebagai warga RW tersebut, saya memang malu. Malu karena saya begitu bersemangatnya menyumbang saya lupa kalau di lingkungan sendiri juga ada yang begitu membutuhkan uluran tangan. malu, karena begitu banyak dari kita yang menyumbang bukan dengan niat ikhlas.

Bingung, mengapa uang puluhan milyar begitu mudah mengalir atas nama sumbangan ketika di sekeliling kita masih penuh orang yang hidup menderita tak pernah kita sapa. Apa harus ada yang menjadi korban bencana alam dulu baru kita menyumbang? Atau predikat sebagai penyumbang terbanyak, status dermawan lah yang kita kejar kala menyumbang?

Mmm…sudahlah, saudara-saudara korban gempa atau siapapun itu tak membutuhkan kebingungan saya. Mereka membutuhkan uluran tangan yang ikhlas.

Author: Beni Suryadi

Laki-laki, Islam, Minang, Indonesia. Seorang bapak, seorang suami yang berbahagia. Sesekali senang menulis tentang diri dan kehidupan.

6 thoughts on “Untitled”

  1. Iya..iya..bner banget..
    semut di seberang lautan keliatan
    gajah di depan mata kagak keliatan..
    bner brarti ya, kalo mau nolong orang emang sebaiknya dari yg deket dulu.

  2. Sip! Kadang kita seringkali lupa kalau orang-orang terdekat bahkan lebih membutuhkan bantuan. Untuk menjadi baik tak harus jauh-jauh, mulailah dari sekitar dulu…

    *sok bijak*

  3. Bantuan memang banyak, menumpuk di posko2. Tapi… tak pernah sampai ke tujuan. Birokrasi dan mental-mental bangsa indonesia yang cuma ingin pamer agar dibilang dermawan lah yang membuat korban makin banyak berjatuhan.

    Bukan karena gempa.. tapi saking lamanya bantuan itu sampai ke perut mereka.

  4. beneran ni cerita ben?? luar biasa memang bangsa ini… laen kali, sumbangan lu bungkusnya dibagi jadi 4 paket, masing2 posko kasih satu…

Leave a comment